Senin, 22 Februari 2010

KOLOLI KIE, (Tradisi Ritual Adat Mengelilingi Pulau Ternate Sambil Ziarah Beberapa Makam Keramat)

Penulis : Busranto Latif DoaFoto : Maulana, Mukhsin & R. Fahmi===================================================================

PENGANTAR
Setiap penduduk asli di pulau Ternate di Provinsi Maluku Utara pasti pernah mendengar dan tahu arti dari kata “Kololi Kie” yaitu sebuah kegiatan ritual masyarakat tradisional untuk mengitari atau mengelilingi gunung Gamalama sambil menziarahi beberapa makam

Senin, 25 Januari 2010

Maluku Utara



Maluku Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia. Provinsi yang biasa disingkat sebagai Malut ini terdiri dari beberapa pulau di Kepulauan Maluku.


Ibukota sementara provinsi ini adalah Ternate. Sofifi, yaitu sebuah kelurahan di kecamatan Oba Utara, adalah ibukota definitif provinsi Maluku Utara. Rencananya setelah infrastruktur pemerintahan dan fasilitas lainnya dibangun, aktivitas pemerintahan akan dipindahkan dari Ternate ke daerah ini.


Kondisi Geografis

Luas total wilayah Provinsi Maluku Utara mencapai 140.255,32 km². Sebagian besar merupakan wilayah perairan laut, yaitu seluas 106.977,32 km² (76,27%). Sisanya seluas 33.278 km² (23,73%) adalah daratan.


Pulau-Pulau

Provinsi Maluku Utara terdiri dari 395 pulau besar dan kecil. Pulau yang dihuni sebanyak 64 buah, yang tidak dihuni sebanyak 331 buah.

Pulau Halmahera (18.000 km²)
Pulau Cibi (3.900 km²)
Pulau Talabu (3.195 km²)
Pulau Bacan (2.878 km²)
Pulau Morotai (2.325 km²)
Pulau Ternate
Pulau Makian
Pulau Kayoa
Pulau Gebe


Sejarah

Sebelum Penjajahan

Daerah ini pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku), yaitu:

Kesultanan Bacan
Kesultanan Jailolo
Kesultanan Tidore
Kesultanan Ternate.


Pendudukan Militer Jepang

Pada era ini, Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik.

Zaman Kemerdekaan

Orde Lama

Pada era ini, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan, kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957. Setelah itu kedudukannya dibagi ke dalam beberapa Daerah Tingkat II (kabupaten).

Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta.

Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespons upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang kongkrit.


Orde Baru

Pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota administratif. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore, dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku.


Orde Reformasi

Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan pembangunan di beberapa wilayah potensial dengan membentuk provinsi-provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi.

Atas dasar itu, pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negera Nomor 3895).

Dengan demikian Provinsi ini secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 sebagai pemekaran dari Provinsi Maluku dengan wilayah administrasi terdiri atas Kabupaten Maluku Utara, Kota Ternate, dan Kabupaten Maluku Utara.

Selanjutnya dibentuk lagi beberapa daerah otonom baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Sula Kepulauan, dan Kota Tidore.


Kabupaten dan Kota

No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Halmahera Barat/Jailolo
2 Kabupaten Halmahera Tengah/Weda
3 Kabupaten Halmahera Utara/Tobelo
4 Kabupaten Halmahera Selatan/Labuha
5 Kabupaten Kepulauan Sula/Sanana
6 Kabupaten Halmahera Timur/Maba
7 Kabupaten Pulau Morotai/Morotai Selatan
8 Kota Ternate -
9 Kota Tidore Kepulauan


Dasar hukum:
UU RI Nomor 46 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 6 Tahun 2003

Tanggal penting:
4 Oktober 1999 (hari jadi)

Ibu kota:
Ternate

Gubernur:
Thaib Armain

Luas:
140.255,32 km² (total); 33.278 km² (daratan); 106.977,32 km² (lautan)

Penduduk:
970.443 (2005)

Kepadatan:
29

Kabupaten:
6

Kota:
2

Kecamatan:
45

Kelurahan/Desa:
730

Suku:
Suku Module, Suku Pagu, Suku Ternate, Suku Makian Barat, Suku Kao, Suku Tidore, Suku Buli, Suku Patani, Suku Maba, Suku Sawai, Suku Weda, Suku Gne, Suku Makian Timur, Suku Kayoa, Suku Bacan, Suku Sula, Suku Ange, Suku Siboyo, Suku Kadai, Suku Galela, Suku Tobelo, Suku Loloda, Suku Tobaru, Suku Sahu

Agama:
Islam (76,1%), Protestan (23,1%), Lainnya (0,8%)


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Maluku_Utara

Sumber Gambar:
http://www.cps-sss.org/web/images/provinsi/maluku_utara.png
http://id.wikipedia.org/wiki/Maluku_Utara

Peta Maluku Utara


View Larger Map

Untaian Permata Hijau Tidore dan Ternate

Punya uang seribu rupiah? Oow.. tenang aja. Saya bukannya mau minta duit. Bukan.. bukan itu permintaan saya. Saya ingin Anda memperhatikan gambar pada uang seribu rupiah yang sedang Anda pegang. Lihatlah pada gambar dua buah pulau yang berada di latar sebuah perahu nelayan. Ada keterangan di sudut kiri atas. Bunyinya, “Pulau Maitara dan Tidore”. Nah, selama tiga hari yang lalu, saya berkesempatan berada di pulau yang muncul sebagai ilustrasi pada alat tukar keluaran Bank Indonesia itu.



Image courtesy Fiona Angelina (c)

Tapi dari tempat saya menginap di Ternate, pandangan pada posisi pulau-pulau tersebut terbalik. Pulau Maitara di sebelah kanan, dan Pulau Tidore di sebelah kiri. Saya sempat mendiskusikannya bersama teman perjalanan. Kesimpulan kami, gambar di uang tersebut diambil dari laut lepas, bukan dari daratan Ternate. Dugaan ini dikuatkan juga dengan foto yang saya lihat di indahnesia.com, superbayek@MP serta pengakuan Pak Yoanes. Posisi pulau Maitara dan Tidore pada foto itu sudah hampir mirip dengan uang seribu rupiah, tapi untuk mendapatkan persepsi yang sesuai sepertinya memang harus dilihat dari sisi laut lepas.


Image courtesy Yoanes Bandung (c)

Sayang, Bang Pay yang babu negara seperti saya itu , sudah pindah penempatan ke Manado. Padahal dari orang yang sudah tinggal selama 3 tahun di Ternate, saya mengharapkan cerita pengalaman dan guide ke tempat-tempat yang menarik. Ah cukuplah blog-blogmu itu menceritakan duka dan kesedihanmu bang.. hehehe..

Seumur-umur nggak pernah kebayang deh bakalan melakukan perjalanan sejauh ini. Apalagi status saya yang cuman Turis Dinas kelas rendahan yang nggak bisa memilih tujuan dinas. Kalau diingat-ingat, saya lebih sering ditugaskan ke daerah yang relatif sulit dijangkau. Tahun lalu saja saya berkesempatan bertugas mengunjungi lokasi-lokasi yang butuh perjuangan ekstra untuk mencapainya: Tanah Bumbu, Pangkalan Bun, Ketapang dan Paser .

Nah kali ini, saya ditugaskan ke Kota Tidore. Tanah kelahiran Sultan Nuku dan Sultan Baabullah. Tanah air para pejuang. Bahkan Kesultanan Tidore pada masa kejayaannya memiliki kekuasaan sampai dengan Papua. Sampai-sampai terlontar pujian kebanggan dari Bung Karno, “Kalau bukan karena Tidore, tidak ada lagu dari Sabang sampai Merauke”.

Perjalanan kali ini memang berat. Bahkan sejak keberangkatan dari Jakarta. Saya harus berangkat pagi buta ke bandara untuk mengejar penerbangan jam 5. Jadwal penerbangan jam 5 itu menurut saya paling berat. Lebih berat dari penerbangan ke Papua jam 2 pagi. Kalau penerbangan jam 2, kita bisa berangkat dari rumah jam 9. Saat taksi dan angkutan umum lainnya masih beroperasi. Lha ini penerbangan jam 5, kalau berangkat jam 9 masih terlalu lama menunggu. Tapi berangkat jam 3 pagi butuh niat ekstra untuk bangun, dan usaha ekstra mendapatkan transportasi umum.

Setelah transit sebentar di Makassar, rombongan kami yang terdiri dari 3 orang itu, melanjutkan penerbangan ke Bandara Sultan Baabullah di Ternate dengan pesawat Foker. Dan saat-saat menjelang pendaratan benar-benar memukau. Rasa penat penerbangan selama 3,5 jam (plus waktu transit, total 6 jam perjalanan) terbayar sudah. Kami disuguhi pemandangan untaian pulau-pulau bak permata berbalut jernihnya laut biru. Semakin mendekati pantai, gradasi warna air laut turut menyambut pesawat kami. Dimulai dari biru pekat, memudar menjadi biru muda, dan terus semakin kehilangan pigmen hingga menjadi putih pasir. Suasana tambah memikat hati karena semua keindahan itu saya lihat diiringi alunan suara murottal Musyari Rasyid.

Kota Ternate mencakup seluruh pulau Ternate. Luasnya tak kurang dari setengah juta kilometer persegi. Semua aktivitas warga dilakukan di kaki gunung Gamalama. Dari nama gunung inilah Dorce mengambil nama. Gunung yang sempat meletus pada tahun 2003 ini, berdiri angkuh mengawasi semua kegiatan di bawahnya. Diliputi awan-awan stratus tipis, Gamalama turut menjadi saksi perebutan kursi Gubernur Maluku Utara.

Di sini, mayoritas wanita berjilbab. Bahkan seorang wanita bercadar ala burqa duduk tepat di belakang saya dalam penerbangan ini. Jejak syiar Islam terlihat di mana-mana. Sebuah masjid besar di pinggir pantai sedang dibangun oleh Pemda Kota Ternate. Di depan masjid-masjid yang tersebar di seluruh pulau, biasanya terdapat papan peringatan untuk menghormati orang yang sedang beribadah.

Malamnya, kami menikmati deretan penjaja makanan yang berjajar di tepi pantai Swering. Usai makan, kami menikmati sejenak sepoi angin laut di Swering. Swering adalah semacam tanggul penahan ombak yang memanjang sampai beberapa kilometer. Di atasnya, terdapat lahan luas yang dimanfaatkan sebagai pusat kuliner di malam hari. Di tanggul itu pula orang-orang bisa duduk dan menikmati laut. Bahkan sampai lewat tengah malam pun orang-orang masih bertahan di sana.

Hari kedua penugasan, kami menyeberang dari Ternate ke Tidore. Diantar sebuah speedboat yang bertolak dari Pelabuhan Bastiong, kami membelah laut yang memisahkan dua pulau itu hanya dalam tempo tujuh menit untuk kemudian merapat ke Pelabuhan Rum di Tidore. Di Rum, saya seolah melihat akuarium raksasa. Air laut di sana, Masya Allah, jernih sekali. Saking jernihnya saya bisa melihat dasar laut, dan juga ikan-ikan kecil yang berenang berkelompok melenggak-lenggok membiarkan dirinya dibawa arus air laut.Pandangan menembus air itu sensasinya bak melihat akuarium raksasa yang rajin dikuras dan dibersihkan serta dirawat oleh Pemiliknya.

Tidore lebih sepi daripada Ternate. Konturnya tak jauh beda dengan Ternate, yaitu sebuah pulau dengan gunung di pusatnya. Gunung Tidore bukanlah gunung aktif seperti Gamalama. Karakternya yang tenang diwariskan pada penduduk pulau ini. Kami pun menyusuri jalan lingkar pulau yang lazim disebut jalan Round untuk menuju komplek pemerintahan di Soa Sio. Dari Pelabuhan Rum, Kota Soa Sio berada di sisi sebaliknya dari pulau Tidore dan dapat dicapai dalam waktu setengah jam bermobil.

Pemandangan dari rumah dinas dan kantor pemerintahan menghadap ke laut lepas.

Pulang dari Tidore, kami sempat terhalang oleh demonstrasi di Kantor Gubernur Maluku Utara. Konflik Pilkada yang berlarut-larut membuat roda pemerintahan Provinsi terhambat. Beberapa berpendapat, konflik ini gara-gara orang luar Maluku Utara. Tentu yang dimaksud adalah Pak Mendagri Mardiyanto. Kata orang-orang itu, kalau urusan diserahkan pada orang Makuku Utara sendiri, sudah selesai dari dulu.

Dalam penerbangan pulang, saya melihat pramugari sedang membuka ponsel di atas pesawat. Hehehe.. setuju! Belum ada pembuktian ilmiah mengenai pengaruh sinyal ponsel terhadap sistem navigasi atau apapun dari pesawat. Malah, pembuktian membuktikan amannya menggunakan ponsel. Hanya saja ketika kita terbang terlalu tinggi, tidak ada sinyal. Tapi saya baru berani menyalakan ponsel kalau menggunakan pesawat propeler alias berbaling-baling. Kalau menunggang pesawat jet yang alatnya canggih, saya masih mematikan ponsel.

Aaarrgghhh… perjalanan pulang ke Jakarta benar-benar melelahkan. Kami harus transit dua kali. Penerbangan connecting siang hari ternyata menuntut kami untuk mendarat di Manado dan Makassar. Hasilnya, badan pegal-pegal dan mood jadi buruk. Badan sudah terlalu capek untuk dibawa tidur, mata sudah terlalu lelah untuk membaca, batere mp3 player sudah terlalu lemah untuk memperdengarkan alunan murottal. Dan lagi di Jakarta kami tidak mendapati pemandangan indah seperti di Maluku, malah disambut dengan kemacetan sepulang kerja.


Sumber :
Abu Abbas
http://www.uliansyah.or.id/2008/07/11/untaian-permata-hijau-tidore-dan-ternate/
11 Juli 2008

Situs Peninggalan Spanyol di Tidore Terancam Abrasi

Situs tempat pendaratan kapal Angkatan Laut Spanyol tahun 1521 di pantai Kelurahan Rum, Kota Tidore, Kepulauan (Tikep), Maluku Utara (Malut), kini terancam abrasi.

"Situs tersebut memiliki nilai sejarah, tapi keberadaannya sudah terancam abrasi. Pemkot Tikep harus menyelamatkan keberadaan situs itu," kata seorang pemerhati sejarah di Malut, Muhammad Malik, di Ternate, Kamis.


Di situs tempat pendaratan kapal Angkatan Laut Spanyol tersebut telah dibangun tugu oleh Kedutaan Besar Spanyol untuk Indonesia tahun 1993, tapi keberadaan tugu itu kian terancam oleh abrasi.

Menurut Muhammad Malik, kapal Angkatan Laut Spanyol Trinidad dan Victoria yang dipimpin Kapten Juan Sebastian Elcano dalam ekspedisi mengelilingi dunia tahun 1521 singgah di Tidore. Saat itu Tidore dijajah Spanyol.

Kapal Trinidad dan VIntoria tersebut berlabuh selama satu bulan di Pantai Rum, tempat itu sekarang telah dijadikan situs peninggalan Spanyol dan setiap wisatawan Spanyol yang berkunjung ke Tidore selalu mendatangi situs itu.

"Situs sejarah tersebut selain sangat bermanfaat untuk kepentingan ilmu pengetahuan juga dapat menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Tidore, jadi pemkot setempat melestarikan keberadaanya," kata Muhammad Malik.

Peninggalan lainnya Spanyol di Tidore adalah benteng Tjsobe, yang dibangun Spanyol pada abad ke-15 untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Portugis yang saat itu menguasai Ternate. Benteng ini juga kurang mendapat perawatan dari Pemkot setempat.

Dari Pemkot Tikep diperoleh keterangan bahwa Walikota Tikep, Ahmad Mahifa telah meninjau situs peninggalan Portugis tersebut dan telah pula menginstruksikan kepada Dinas PU setempat membangun tanggul penahan abrasi di pantai sekitar situs itu.

Pemkot Tikep juga akan segera menyurat ke Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta untuk memberitahukan bahwa Pemkot Tikep akan memperbaiki situs tersebut. Pemkot Tikep perlu menyampaikan hal itu karena yang membangun tugu di situs tersebut ada Kedutaan besar Spanyol.

Di Malut banyak peninggalan sejarah yang juga tidak terawat dengan baik. Bangkai alat perang peninggalan Sekutu di Pulau Morotai saat Perang Dunia II misalnya kini banyak yang tidak terawat bahkan tidak sedikit yang telah hilang diambil oknum tak bertanggung jawab. (Sumber ANT)


Sumber :
http://oase.kompas.com/read/2009/08/21/06265734/Situs.Peninggalan.Spanyol.di.Tidore.Terancam.Abrasi
21 Agustus 2009

Minggu, 24 Januari 2010

Profil Kota Ternate






Kota Ternate lebih dahulu digunakan untuk menyebut daerah perkotaan yang berada di tengah Pulau Ternate, lokasi ibukota Provinsi Maluku Utara. Namun Kota Ternate juga merupakan sebutan resmi wilayah administratif yang meliputi delapan pulau; Ternate, Moti, Hiri, Mayau, Rifure, Maka, Mano dan Gurida. Tiga pulau terakhir tidak berpenghuni. Kota Ternate memiliki luas 206,77 km2 terbagi menjadi 4 kecamatan dengan Ternate sebagai ibukotanya. Wlilayahnya berbatasan dengan Selat Halmahera di sebelah timur, sedangkan di sebelah utara, selatan dan barat berbatasan dengan Laut Maluku.


Ternate dikenal sebagai pusat perdagangan dunia pada abad ke 13, saat pedagang Arab sampai ke Maluku Utara. Kemudian, di abad 16 berdatangan bangsa Eropa mulai dari Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Tujuan mereka sama, mencari rempah-rempah yang melimpah di wilayah ini. Aktivitas ini mejadikan Ternate sebagai jalur sutra perdagangan rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala. Perdagangan hingga sekarang memang menjadi kekuatan Ternate. Letaknya yang strategis sebagai jalur transportasi niaga dan pariwisata Terante-Bitung, Ternate-Papua, Ternate-Namlea, dan Ternate-Ambon memungkinkan untuk mewujudkan kota ini menjadi kota perdagangan dan pariwisata. Keindahan alam Ternate, adat istiadat, dan peninggalan sejarah sebagai bandar jalur sutra perdagangan rempah-rempah tempo dulu kiranya bisa menjadi daya tarik wisata.

Sebagai daerah yang wilayahnya berupa kepulauan, Ternate beruntung memiliki Pelabuhan Samudera Ahmad Yani yang sekaligus sebagai pintu masuk melalui jalur laut, serta Bandar Udara Sultan Babullah sebagai gerbang udara. Transportasi antarpulau dengan kapal ferry terdapat di Bastiong , Kecamatan Ternate Selatan. Komoditas Ternate seperti kayu lapis, kayu olahan, bujgkil, karton, ikan beku, ikan hidup, udang, cumi, pala, cokelat dikapalkan ke berbagai penjuru dunia melalui Pelabuhan Ahmad Yani.


Sumber Data:
Maluku Utara Dalam Angka 2007
(01-9-2007)
BPS Propinsi Maluku Utara
Jl. Inpres Ubo-Ubo, Ternate 97717
Telp (0921) 327878
Fax (0921) 327878

Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/displayprofil.php?ia=8271

Sumber Gambar:
http://matanews.com/wp-content/uploads/malutPeta.jpg
http://matanews.com/wp-content/uploads/kotaternatevy0.jpg

Kabupaten Kepulauan Sula


Kabupaten Kepulauan Sula dengan ibukota Sanana terletak paling Selatan di wilayah Provinsi Maluku Utara. Jarak dari Kota Ternate, ibukota provinsi sekitar 284 Km dapat ditempuh melalui penerbangan udara dan pelayaran laut. Secara geografis terletak di antara 01 45 00 LS dan 124 05 00 BT 126 50 00 BT.


Wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Maluku, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Barat dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan sebelah Timur dengan Laut Seram. Luas Wilayah 24.082,30 Km2 terdiri dari 6 kecamatan, 82 desa dengan jumlah penduduk sekitar 124.784 jiwa sesuai data P4B pada tahun 2004. Potensi unggulan pada saat ini bertumpu pada sektor kehutanan dan perikanan mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah.

Kebijakan Pemerintah Daerah tahun 2005 yang tertuang dalam Arah Kebijakan Umum memprioritaskan pembangunan pada :

1)Membangun tegaknya hukum dan mentalitas masyarakat serta stabilitas keamanan dan ketertiban sebagai prasyarat terciptanya stabilitas keamanan dan stabilitas politik terutama dalam persiapan pelaksanaan Pilkada tahun 2005.

2)Membangun dan meningkatkan peran lembaga-lembaga politik yang handal untuk memberi konstribusi optimal bagi implementasi Otonomi Daerah dan akselerasi pembangunan politik di daerah.

3)Membangun dan menata daerah perkotaan terutama Kota Sanana sebagai Ibukota Kabupaten serta pembangunan prasarana dan sarana pemerintahan dalam menunjang kinerja penyelenggaraan pemerintahan.

4)Membangun dan mendorong terciptanya aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance and clean governance).

5)Membangun dan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagai pemegang kedaulatan menjadi subjek pembangunan.

6)Membangun sumberdaya manusia yang profesional dan handal menuju kemandirian daerah dalam segala bidang.

7)Membangun seni dan budaya daerah menjadi kekuatan lokal yang memiliki daya tarik dan daya saing yang tinggi.


Sumber :
http://kepulauansula.bappenas.go.id/

Sumber Gambar :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ea/Peta_Kepulauan_Sula.jpg

e-Goverment di Halmahera Utara - Membangun TI Secara Bertahap

Meski baru dibentuk lima tahun lalu, pengembangan TIK sudah dilakukan di Kabupaten Halmahera Utara (Halut). Wujudnya, penggunaan akses internet di semua unit kerja dan adanya website. Tahun ini rencananya Pemkab sudah akan menggunakan aplikasi Simpeg dan Simreda serta menggelar training setingkat operator.

Ruang lobi Kantor Bupati Pemda Halmahera Utara (Halut) tergolong tidak begitu besar. Ukurannya sekitar lima kali enam meter persegi. Layaknya sebuah lobi, tak jauh dari pintu masuk terdapat kursi saling berhadapan di samping kiri dan kanan. Tepat di depan pintu masuk, dua orang staf Pemda bertindak sebagai penerima tamu. Meski terkesan sederhana, rupanya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sudah menjamah ruang ini. Buktinya, di salah-satu dinding ruang lobi, terpampang layar monitor bergambar halaman depan website www.halmaherautara. com. Tak jauh dari layar monitor tepatnya agak belok kiri, ke arah ruang kerja bupati, terdapat CCTV (Closed Circuit Television). Kamera kecil ini merekam aktivitas yang terjadi di sekitar ruang lobi yang berdekatan dengan ruang kerja bupati.


Meski baru berusia lima tahun sejak pembentukan Mei 2003 lalu, Pemkab Halut sepertinya sudah menyadari pentingnya TIK. Seperti dituturkan oleh Hein Namotemo, Bupati Halut “Kami consern sekali terhadap TI,” tegasnya. Hanya saja, diakui Hein, pembangunan TIK di Halut masih jauh dari maksimal mengingat pembangunannya dilakukan secara bertahap. “Kalau boleh saya gambarkan perkembangan TIK di sini, bagaikan anak belum bisa lari, tapi sudah mulai berdiri,” begitu Hein berumpama.

Membangun Akses
Bila dilongok dari awal perkembangannya, TIK mulai menjamah kabupaten yang terdiri dari 22 kecamatan dan 177 desa ini, sejak Mei 2005. Ceritanya, ketika itu, Pemkab Halut mendapat bantuan dari UNDP (United Nations Development Programme) dan Pemprov Maluku Utara berupa VSAT berikut komputer dan DVD. Bantuan peralatan ini terkait program capacity building untuk meningkatkan kinerja aparat Pemda Halut. Selama enam bulan, terhitung Mei hingga Oktober 2005, Pemkab Halut mendapat akses internet gratis sebesar 256 Kbps. Hanya saja, bandwith sebesar itu harus di-share ke tiga Pemda lainnya yang juga mendapat bantuan dari UNDP dan Pemprov Maluku Utara. Artinya, Pemkab Halut hanya mendapatkan akses 64 Kbps dan dari jumlah ini harus dibagi lagi ke sejumlah unit kerja.

Begitu bantuan akses internet gratis ini rampung, Pemkab melalui Bappeda tetap meneruskan program tersebut dengan membayar sendiri langganan band-with sebesar Rp 6 juta/bulan ke ISP Padi Internet yang bekerja sama dengan Singtel Singapura. Selanjutnya bandwith sebesar 64 Kbps tetap di-share ke sejumlah unit kerja. Seiring makin banyaknya unit kerja yang ingin akses internet, maka pada 2007, kapasitas bandwith ditingkatkan menjadi 256 Kbps. Di sini Pemda Halut berlangganan dalam bentuk paket 1024 Kbps bersama tiga klien lainnya. “Ketika tiga klien lainnya sedang tidak menggunakan internet, kami bisa akses dengan cepat,” terang Rymond Novianus Batawi, Plt Kasi Teknologi Informasi Bappeda Kabupaten Halut. Sebaliknya, ketika jam kerja apalagi semua unit kerja yang berjumlah 32 SKPD mengakses internet, maka sudah bisa ditebak berselancar di dunia maya menjadi lambat.
Soal koneksi internet, kini semua unit kerja di Pemkab sudah mengaksesnya. Minimal satu unit komputer di masing-masing SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) sudah tersambung internet. Sebagai gambaran, rata-rata setiap SKPD didukung oleh tiga komputer. Khusus untuk ruang Infokom dan Protokoler didukung empat unit komputer yang semuanya ter-connecting dengan internet. Sebagai unit kerja yang mengemban tugas mengkoordinir kegiatan infokom dan data, hubungan masyarakat dan kegiatan keprotokolan, tentu perlu didukung lebih dari 1 komputer yang tersambung dengan internet. Asal tahu saja, bidang Infokom yang berada di bawah Sekda tepatnya Asisten II, tidak saja berkutat dengan pembangunan TIK. Lebih dari itu, ia mengemban fungsi Humas. Selain itu, TIK juga menjadi sub unit yang berada di bawah bidang Litbang Bappeda Kabupaten Halut. Nah, selama ini, urusan TIK lebih banyak ditangani oleh SDM Bappeda.

Masih terkait akses, di awal 2008, Pemkab menyediakan fasilitas hotspot gratis di sekitar area Kantor Bupati. Terobosan ini dilakukan Pemkab untuk memberikan fasilitas kepada para tamu, kalangan akademisi, dan mereka yang membutuhkan akses saat berada di Kantor Bupati. “Jadi kalau ada tamu datang, mereka bisa akses internet dengan mudah,” terang Kepala Bagian Infokom dan Protoker Kabupaten Halut, Alfatah Sibua. Maklum, di Halut tepatnya di ibu kota Tobelo, hingga kini baru ada satu warnet dengan tarif Rp 10.000/jam.

www.halmaherautara.com

Promosi dengan Website
Selain akses, kabupaten yang masuk dalam Provinsi Maluku Utara ini, sudah memiliki website sejak pertengahan 2007 lalu. Meski belum begitu lama, kabupaten yang kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai petani dan nelayan ini, mempunyai dua website. Pertama, www.halut.com yang juga bisa diklik di www. halutkab. go.id. Konten website berisi informasi seputar Pemda Halut dan pengelolaannya ditangani oleh Bappeda bekerja sama dengan Bagian Infokom. Kedua, www. halmaherautara.com yang mengusung informasi khusus pariwisata di Halut. Website ini berada di bawah tanggung jawab Dinas Pariwisata Kabupaten Halut. Pembuatan website, menurut Alfatah, tak bisa dilepaskan dari pencananganan “Halut Go Internasional 2010”. “Website digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan Halut,” terang Alfatah. Hanya saja, konten website belum di-update secara rutin. Praktis, informasi yang dipublikasikan tak banyak berubah. Sejatinya, sebagai pintu gerbang Halut di dunia maya, update konten harus dilakukan secara rutin.

www.hal-ut.com

Toh hal ini tidak dipungkiri oleh Alfatah. Ia menyadari sejumlah permasalahan masih mewarnai pengembangan TIK di Halut termasuk belum terupdate website secara rutin. “Ini terjadi karena berbagai sebab,” akunya. Sebut saja langkanya SDM TI di pemerintahan dan minimnya instruktur TI. Selain itu, ditambahkan Rymond, keterbasan pengetahuan operator di masing-masing unit kerja juga turut menjadi faktor penyebab. Imbasnya, penggunaan internet belum maksimal. Artinya, internet baru digunakan sebatas mengirim email serta membuka website. “Belum digunakan untuk transfer data antar unit kerja atau koordinasi,” aku jebolan Universitas Satya Wacana jurusan pertanian ini. Sebenarnya, lanjut Rymond, unit kerja sudah bisa online melalui Yahoo Messanger. Hanya saja, tidak semua unit kerja online saat jam kerja. “Unit tertentu saja yang selalu online,” tutur pria yang menjadi tumpuan semua unit kerja bila terjadi kerusakan komputer ini.

Siapkan SDM dan Aplikasi
Mengingat belum semua operator di semua unit kerja well IT, rencananya akan digelar training. Targetnya semua operator bisa mengoperasikan dan memanfaatkan akses internet untuk mendukung kinerja Pemkab. Sejauh ini, meski sudah pernah digelar training setingkat operator, belum semuanya bisa mengemban amanah dengan baik. Sejalan dengan itu, dalam waktu dekat, Pemkab akan menerapkan aplikasi Sistem Kepegawaian (Simpeg) dan Sistem Perencanaan Daerah (Simreda).

Masih di 2008, Pemkab bakal menambah bandwith dari 256 Kbps menjadi 1 Mega Kbps. Penambahan ini, menurut Rymond, lantaran semakin banyaknya pihak di luar lingkungan Pemkab yang ingin akses internet. “Ada permintaan dari PT Hibualamo selaku BUMD, Koperasi, hingga sejumlah perguruan tinggi yang mengajukan permohonan akses ke Pak Bupati,” terang PNS yang juga pemilik warnet ini. Munculnya permintaan ini menandakan akses internet mulai menjadi kebutuhan bagi masyarakat Halut. Semoga dengan begitu, Halut bisa merealisasikan tekadnya untuk go internasional. (Faizah Rozy)


Sumber :
http://www.majalaheindonesia.com/halut-e-gov.htm

Kepulauan Widi di Halmahera Selatan

Obyek wisata Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan menjadi andalan bagi pemerintah setempat untuk menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara ke daerah itu.

Bupati Halmahera Selatan Muhammad Kasuba, Jumat (6/3), di Labuha mengatakan, Pemkab Halsel menjadikan Kepulauan Widi menjadi andalan antara lain karena pantai pasir putihnya yang tak kalah indah dibandingkan Pantai Kuta di Bali. Juga panorama bawah lautnya yang keindahannya setara dengan panorama bawah laut di Raja Ampat, Papua.

Bahkan, Kata Bupati Muhammad Kasuba, panorama bawah laut di Kepulauan Widi memiliki lebih indah dibanding taman laut lainnya di Indonesia, terutama terumbu karangnyanya yang secara umum masih dalam kondisi baik. Di Kepulauan Widi juga ada hutan yang masih alami dan dihuni berbagai jenis burung.

Untuk memasarkan Kepulauan Widi, pemda setempat telah menjalin kerja sama dengan Pemkab Raja Ampat untuk mengarahkan wisatawan juga ke Kepulauan Widi setelah dari Raja Ampat.


Penerbangan dari Manado

Obyek wisata Kepulauan Widi terletak di perbatasan antara Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Raja Ampat.

Untuk mencapai Kepulauan Widi, dari Raja Ampat hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan speed boat. Pemkab Halsel saat ini juga tengah mengupayakan penerbangan langsung dari Manado ke Labuha, Ibu Kota Kabupaten Halsel, sehingga wisatawan yang berkunjung di Manado bisa dengan mudah melanjutkan kunjungan ke Kepulauan Widi.

Prasarama menuju Kepulauan Widi juga sdang dibenahi. Akomodasi bagi wisatawan, seperti hotel dan penginapan memang belum ada, tetapi wisatawan bisa menggunakan rumah penduduk. Bisa juga menginap di hotel-hotel di Labuha.

Cara termudah saat ini untuk mencapai Kepulauan Widi adalah melalui Ternate. Dari Ternate wisatawan bisa ke Labuha menggunakan kapal laut atau pesawat perintis (dua kali seminggu), selanjutnya ke Kepulauan Widi menggunakan kapal laut melalui Gane Timur.


Sumber:
http://www.indomp3z.us/showthread.php?t=95430

Seni Budaya, Wisata Unggulan Halmahera Barat

KABUPATEN Halmahera Barat adalah salah satu kabupaten yang berada Provinsi Maluku Utara. Secara geografis kabupaten ini terletak di antara 1o-3o Lintang Utara dan 123o-128o Bujur Timur. Luas wilayah kabupaten ini terdiri dari 11.623.42 Km2 wilayah laut dan 22,346 Km2 wilayah darat dan memiliki sejumlah pulau-pulau kecil yang sangat indah. Pulau-pulau itu terdiri dari 123 pulau yang dua diantaranya berpenghuni sedangkan yang lainnya merupakan pulau tanpa pemghuni.


Halmahera Barat dihuni oleh penduduk yang beraneka ragam suku/etnis yang cukup tinggi. Suku-suku ini terbagi menjadi dua, yaitu suku asli dan suku pendatang. Suku asli di daerah ini adalah suku Sahu, Suku Ternate, suku Wayoli, suku Gorap, suku Loloda dan suku Gamkonora, sementara suku pendatang antara lain suku Sangier, suku Makian, suku Ambon, suku Tidore, suku Jawa dan suku Gorontalo. Dengan Kondisi tersebut memberikan Kosentrasi pada keragaman bahasa, adat istiadat dan tradisi masyarakat di kabupaten paling barat pulau Halmahera ini.

Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, tentunya Halmahera Barat memiliki keragaman obyek wisata dan daya tarik yang patut diancungi jempol. Sebagai aset derah, obyek wisata di kabupaten Halmahera Barat sebagiannya sudah dikelola oleh pemerintah kabupaten. Aset wisata yang sudah dikelola ini diantaranya sebagian wisata tirta, wisata seni dan budaya, dan wisata sejarah. Sedangkan aset wisata lainnya seperti wisata alam, wisata agro, wisata fauna dan sebagian wisata tirta masih dalam program perencanaan pengembangan wisata oleh pemkab Halbar.

Salah satu aset wisata yang diunggulkan adalah seni dan budaya khususnya adat istiadat suku-suku yang tumbuh dan sangat dipelihara oleh masing-masing suku di kabupaten ini. Adalah lembah Sahu, lembah yang dapat ditempuh lewat jalur darat sepanjang 15 Km dari ibukota kabupaten setelah melewati pintu masuk pelabuhan Ternate menuju pelabuhan Jailolo. Lembah yang sejak dahulu kala sangat memanjakan penghuninya dengan kekayaan alam yang melimpah ruah ini dihuni oleh masyarakat suku Sahu yang memiliki intensitas adat istiadat yang cukup tinggi.

Secara administrasi masyarakat suku ini dibagi atas dua daerah pemekaran, yakni kecamatan Sahu Barat dan Sahu Timur.Walaupun secara administratif kecamatan ini sudah terbagi dalam dua wilayah yang berbeda namun adat istiadat suku ini tetap terjaga dan menjadi satu kesatuan yang kokoh.

Hal ini dapat dilihat dengan adanya sasa’du (rumah adat suku Sahu) di setiap kampong-kampong (desa-desa) yang terdapat di dua kecamatan tersebut, bahkan di kecamatan Jailolo juga terdapat beberapa rumah adat yang tetap berdiri kokoh di tengah-tengah perkampungan masyarakat.

Dengan adanya sasa’du di kampong-kampong ini menandakan bahwa kampong tersebut didiami oleh masyarakat yang berasal dari suku Sahu dan menjunjung tinggi adat istiadat suku mereka.

Berdasarkan sejarah, suku Sahu pada mulanya bernama Jio Jepung Malamo yang kemudian berganti nama menjadi Sahu. Nama ini adalah nama suku yang diberikan oleh sultan Ternate. Pergantian nama ini bermula ketika sangaji (orang yang memerintah suku ini) dipanggil menghadap sultan Ternate. Pada waktu sangaji bertemu dengan sultan, is sedang makan sahur makanan beliau pun berkata dalam bahasa Ternate “Hara kane si jou sahur,jadi kane suku ngana si golo ngana jiko sahu” yang artinya “karena kau sangaji datang pada waktu sultan sedang makan sahur, maka kemudian hari ini kau akan mendirikan daerahmu dan namailah sahu.

Pada zaman kesultanan Ternate sesudah Baab Mansyur Malamo, suku Sahu memiliki dua kelompok kerja yaitu Tala’i dan Pa’disua. Kedua kelompok ini memiliki kewajiban yang diberikan oleh sultan Ternate untuk berbakti dan membawa upeti kepada kesultanan Ternate. Asal muasal kedua nama kelompok ini, yaitu ketika agama Islam disebarkan oleh sultan Ternate di daratan Halmahera, kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman lembah Sahu ini tidak menyambut dan mendengarkan panggilan sultan yang pada saat itu menyebarkan agama Islam. Kelompok ini tidak terpengaruh karena kepercayaan mereka terhadap agama suku masih sangat kuat, kelompok ini disebut Pa’dus ua yang artinya dipanggil tapi tidak menyahut. Sedangkan kelompok yang menyambut maksud kedatangan sultan disebut tala;i yang artinya berhadapan (berhadapan dengan sultan).

Walaupun kelompok Pa’dus ua tidak menyahut panggilan sultan di saat beliau menyebarkan agama Islam, kelompok ini tetap mengabdi kepada kesultanan Ternate. Perbedaan kelompok suku ini juga membedakan dialektika tutur bahasa masing-masing kelompok yang terkenal dengan bahasa sahu dialek Pa’dus ua dan bahasa Sahu dialek Tala’i.

Struktur pemerintahan suku Sahu
Struktur pemerintahan suku Sahu pada zaman kejayaan sultan, suku ini dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut Walasae, dibawa walasae ada seorang panglima yang disebut kapita/momole, kemudian dibawah kapita ada walangotom (prajurit yang selalu siap siaga mendengar komando dari kapita dalam hal ini pertahanan keamanan). Kemudian ada Jou Ma Bela (kaum masyarakat yang bertugas membawa upeti kepada sultan Ternate).Di bawah Jou Ma bela ada guru yang bertugas dalam hal keagamaan yang didampingi oleh khalifa, dan yang paling terakhir adala ngofa repe sebutan kepada masyarakat kampong, ,sedangkan di atas struktur ini ada lembaga kesultanan yang disebut babato madopolo dan sultan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan yang terkenal dengan nama Maloku Kie Raha hingga sekarang.

Struktur masyarakat ini pada akhirnya berubah, perubahannya yaitu fomanyira (pemimpin desa) memiliki kedudukan tertinggi dan bertugas mengatur kehidupan dan kesejahteraan bala rakyat. Di bawah fomanyira ada sebuah institusi masyarakat yang disebut gam ma kale yang terdiri dari wala sae dan wala ngotom yang tugasnya mengatur dan menegakan hukum adat serta syukuran atas hasil panen pertanian mereka Di bawa gam ma kale ada baba masohi sebutan kepada tua-tua kampong yang bertugas mendampingi Gam Ma Kale dalam hal penegakan hukum adat, dan yang paling terenakhir adalah ngoa repe atau masyaakat kampong.

Kehidupan sosial suku Sahu sejak dahulu kala sudah memahami bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Hal inilah yang mendorong masyarakat ini membentuk kelompok-kelompok kerja baik untuk keperluan kerajaan Ternate maupun kegiatan kemasyarakatan untuk mencapai tujuan tertentu.

Kegiatan gotong royong yang diciptakan oleh nenek moyang itu terwarisi sampai sekarang. Pada lingkungan keluarga biasanya ada hubungan kerja sama sebagai tanggung jawab. Misalnya kerjasama dalam mempersiapkan upacara perkawinan anggota keluarga mereka, upacara pemakaman, dan acara-acara keluarga lainnya. Ada pula dalam lingkungan masyarakat dibentuk kelompok kerja yang disebut rion-rion. Kelompok ini biasanya setiap anggota mempunyai tujuan yang sama, misalnya berkebun, mengolah hasil pertanian, dan membangun rumah para anggota kelompok tersebut.

Masyarakat suku Sahu memiliki berbagai macam budaya suku, seperti adat istiadat dalam melaksanakan upacara perkawinan,upacara pemakaman,adat istiadat dalam pembagian harta,serta budaya sasa’du (upacara pada rumah adat). RANWARD NGITU


Sumber :
http://aspirasinews.wordpress.com/2008/12/24/seni-budaya-wisata-unggulan-halmahera-barat/
24 Desember 2008

Profil Kabupaten Halmahera Timur

Kabupaten Halmahera Timur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Terbagi menjadi 4 kecamatan dengan Maba sebagai ibukota kabupaten. Wilayahnya sendiri berbatasan dengan Teluk Kau di sebelah utara, Kabupaten Halmahera Tengah di sebelah selatan, Teluk Kau dan Kota Tidore Kepulauan di sebelah barat, serta Teluk Buli dan Samudera Pasifik di sebelah timur.


Sebagai daerah agraris yang meliputi 41 desa, pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk. Selain tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah dan kacang kedelai, penduduk menanami pula dengan sayur sayuran seperti cabai, terong, kacang panjang dan bayam. Deretan nyiur yang memagari pesisi pantai Halmahera Timur sebagian besar berasal bukan dari jenis hibrida, melainkan kelapa dalam. Meski banyak yang bisa dimanfaatkan dari tanaman kelapa, oleh masyarakat setempat tanaman keras ini hanya di jual dalam bentuk kopra sehingga potensi kehadiran industri pengolahan kelapa sangat dibutuhkan.

Di sektor usaha perikanan, dukungan terhadap perekonomian daerah ini masih harus dikembangkan. Dengan adanya 4 kecamatan yang berhadapan langsung dengan teluk dan lautan lepas serta adanya kelompok nelayan seperti Mabapura, Bicoli, Wayamli dan lain-lain, menyimpan potensi yang cukup besar. Halmahera sendiri memang terletak di kepulauan Maluku Utara yang berpotensi besar menghasilkan berbagai jenis pelagis atau ikan permukaan berukuran besar dan kecil.

Kabupaten ini juga menyimpan kekayaan bahan tambang. Salah satu komoditi yang menjadi unggulan adalah nikel. Ada tiga sumber tambang nikel Halmahera Timur, yakni Mabapura, Buli dan Pulau Pakal.


Sumber Data:
Maluku Utara Dalam Angka 2007
(01-9-2007)
BPS Propinsi Maluku Utara
Jl. Inpres Ubo-Ubo, Ternate 97717
Telp (0921) 327878
Fax (0921) 327878

Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/displayprofil.php?ia=8206

Festival Teluk Jilolo, Mengenal Keindahan Halmahera Barat

Festival Teluk Jilolo (FTK) yang akan digelar Pemkab Halmahera Barat (Halbar), Maluku Utara (Malut) di kawasan Teluk Jilolo pada 18-23 November 2009 diupayakan masuk dalam kalender tahunan kegiatan wisata nasional.

"Pemkab Halbar telah menetapkan FTK tersebut digelar setiap tahun mulai tahun ini. Pemkab akan mengupayakan FTK masuk dalam kalender tahunan kegiatan wisata nasional," kata Kadis Pemuda Kebudayaan dan Pariwisata Halbar Khalbi Rasyid di Ternate, akhir pekan lalu.

Jika FTK masuk dalam kalender tahunan kegiatan wisata nasional, selain pelaksanaannya akan diketahui secara luas, juga akan memudahkan pengusaha biro perjalan memprogramkan paket kunjungan wisata ke Halbar.

Menurut Khalbi, FTK yang digelar 18-23 November 2009 akan dimeriahkan dengan pementasan budaya dan kesenian tradisonal Halbar serta kegiatan yang terkait dengan bahari.

Kegiatan yang terkait dengan bahari di antaranya parade perahu hias, lomba renang, lomba perahu dayung dan selam. Khusus untuk kegiatan lomba renang dan dayung, pemkab menyediakan hadiah total Rp 200 juta lebih.

"Masyarakat Halbar antusias untuk berpartisipasi pada FTK tersebut, terutama pada lomba dayung dan renang. Saat ini sudah ada ratusan pendaftar pada kedua lomba itu," katanya.

Pemkab Halbar telah mempromosikan pelaksanaan FTK tersebut kepada berbagai pihak terkait, termasuk kepada para pengusaha biro perjalan di sejumlah kota di Indonesia, namun sejauh ini belum dipastikan apakah mereka akan mendatangkan wisatawan pada FTK itu.

Khalbi mengatakan pengunjung di FTK selain dapat menyaksikan kemeriahan berbagai kegiatan juga dapat menyaksikan keindahan panorama bawah laut di perairan teluk Jailolo.

Terumbu karang di perairan teluk Jailolo cukup indah dan umumnya masih dalam kondisi baik. Di sela-sela terumbu karang dapat diskasikan aneka ragam biota laut seperti ikan, bintang laut dan kerang laut.

"Bahkan dapat pula ditemukan keong japanis spy, sejenis keong laut langka. Selama ini keong seperti itu di Indonesia hanya ditemukan di perairan Raja Ampat, Papua Barat," kata Khalbi Rasyid.

Sumber :
http://travel.kompas.com/read/2009/11/16/09421982/Festival.Teluk.Jilolo..Mengenal.Keindahan.Halmahera.Barat
16 November 2009

Obyek Wisata Sisa Perang Dunia II di Morotai

Objek wisata Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Maluku Utara (Malut) memiliki banyak peninggalan sejarah cukup menarik di antaranya sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II.

Di Pulau Morotai banyak terdapat sisa Perang Dunia II, karena pernah menjadi pangkalan Sekutu pada Perang Dunia II, kata Kasubdin Pemasaran Dinas Budaya dan Pariwisata Malut syamsuddin Muhammad di Ternate, Sabtu.


Sisa-sisa Perang Dunia II yang ada di pulau tersebut di antaranya puing-puing pesawat tempur, bangkai kapal perang, rongsokan tank dan bunker tempat persembunyian tentara Sekutu.

Menurut dia, di objek wisata Pulau Morotai juga bisa menyaksikan peninggalan Perang Dunia II berupa lapangan terbang dengan tujuh landasan, yang saat ini dimanfaatkan oleh TNI Angkatan Udara.

Di objek wisata tersebut terdapat gua yang ada kaitannya dengan Perang Dunia II, yakni gua Nakamura, tempat persembunnyian sejumlah tentara Jepang setelah mereka takluk dari Sekutu.

Salah seorang tentara Jepang yang bersembunyi di gua tersebut bernama Nakamura. Ia bersembunyi di tempat itu selama 30 tahun yakni dari 1945 sampai 1975, kata Suamsuddin.

Objek wisata Pulau Morotai juga memiliki panorama pantai pasir putih yang indah, begitu pula perairan laut di sekitarnya memiliki panorama bawah laut berupa terumbu karang dan berbagai jenis ikan yang menarik.

Di sekitar Pulau Morotai juga banyak terdapat pulau kecil, seperti Pulau Dodolayang keindahannya tidak kalah jika dibanding dengan pulau-pulau wisata yang ada di Kepulauan Seribu.

Untuk mencapai Pulau Morotai dapat melalui tiga jalur, menggunakan kapal laut dari Ternate ke Morotai selama 12 jam, yang jadwalnya dua kali seminggu dengan tarif Rp50.000. Alternatif kedua dari Ternate ke Sofifi menggunakan speed boat selama 30 menit dengan tarif Rp25.000, dengan jalan darat (mobil) ke Tobelo selama empat jam dengan ongkos sewa Rp75.000. Jalur tersebut dapat dilewati setiap hari, katanya.

Sedangkan jalur ketiga, menggunakan penerbangan perintis dari Bandara Babullah Ternate ke Galela kemudian Morotai selama 30 menit dengan harga tiket Rp250.000, namun jadwalnya hanya sekali dalam seminggu. [Ant/R1]

Sumber :
http://www.inilah.com/news/politik/2008/01/26/9180/obyek-wisata-sisa-perang-dunia-ii-di-morotai/
26 Januari 2008

Pengusaha Jepang Berminat Tanam Investasi di Morotai

Sejumlah pengusaha Jepang yang tergabung dalam Japindo (Japan-Indonesia), organisasi pengusaha Jepang-Indonesia, berminat menanamkan investasi di pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Maluku Utara (Malut).

"Akhir Oktober lalu, saya membawa tim kesenian Malut ke Tokyo. Di sana saya sempat melakukan pertemuan dengan pengusaha Jepang yang tergabung dalam Japindo. Dalam pertemuan itu, mereka menyatakan berminat menanamkan modal di pulau Morotai," kata Sekretaris Daerah Provinsi Malut, Muhadjir Albar di Ternate, Senin (13/11).


Ada dua alasan yang mendorong mereka ingin menamakan modal di pulau Morotai yakni pertama, pulau Morotai memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, terutama di sektor perikanan dan pariwisata. Kedua, pulau itu memiliki nilai sejarah bagi Jepang.

Menurut Muhajir, pulau Morotai memiliki nilai sejarah bagi Jepang, karena menjadi salah satu basis pertahanan Jepang saat melawan tentara sekutu pada Perang Dunia II. Ribuan tentara Jepang tewas di pulau Morotai saat mereka mempertahankan pulau itu dari gempuran tentara sekutu.

Di pulau Morotai masih banyak terdapat sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II, seperti puing-puing senjata dan bangkai pesawat tempur, baik milik Jepang maupun tentara sekutu. Para pengusaha Jepang ingin memanfaatkan peninggalan Perang Dunia II di pulau Morotai itu, untuk kepentingan pariwisata.

"Mereka menilai, pulau itu sangat potensial dijual kepada wisatawan, terutama untuk wisatawan dari Jepang dan negara-negara lainnya di kawasan Asia Pasifik, karena selain memiliki obyek wisata yang menarik, juga letaknya berhadapan langsung dengan kawasan Asia Pasifik," katanya.

Apalagi, di pulau Morotai sudah ada infrastruktur dasar yakni lapangan terbang bekas peninggalan tentara sekutu. Lapangan terbang di pulau itu memiliki tujuh landasan dengan panjang landasan lebih dari 2.000 meter, sehingga memungkinkan didarati pesawat berbadan lebar.

Muhadjir menambahkan, untuk merealisasikan investasi di pulau Morotai, para pengusaha Jepang yang tergabung dalam Japindo itu, akan berkunjung ke pulau Morotai pada awal tahun 2007. Pemprov Malut sudah menjanjikan berbagai kemudahan investasi kepada para pengusaha Jepang itu. (*/lpk)

Sumber :
http://www.kapanlagi.com/h/0000143368.html
13 November 2006

Berpetualang Menuju Pulau Morotai

Pulau Morotai terletak di ujung utara Kabupaten Halmahera Utara dan merupakan bagian dari Provinsi Maluku Utara. Secara geografis Pulau Morotai terletak di antara 200-240 derajat Lintang Utara dan 12.815-12848 derajat Bujur Timur. Pulau Morotai berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah Utara, Laut Halmahera di sebelah Timur, Selat Morotai di sebelah Selatan dan Laut Sulawesi di sebelah Barat.


Luas wilayah Pulau Morotai adalah 2.474,94 kilometer persegi atau 10 persen dari luas wilayah daratan Kabupaten Maluku Utara. Secara administratif, Pulau Morotai sejak tahun 2002 termasuk ke dalam administrasi pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara dengan ibukota kabupaten di Tobelo. Pulau Morotai sendiri terbagi dalam 3 (tiga) kecamatan yaitu: (1) Morotai Utara dengan ibukota Berebere; (2) Morotai Selatan Barat dengan ibukota Wayabula; dan (3) Morotai Selatan dengan ibukota Daruba.

Tekstur tanah di Pulau Morotai pada umumnya halus dan daerah dengan tekstur sedang berada di sebelah Timur. Sebagian besar luas Kota Daruba merupakan lahan pertanian atau perkebunan rakyat berupa kebun kelapa dan kebun campuran. Sedangkan penggunaan lahan untuk fisik (permukiman, perkantoran dan fasilitas ekonomi) hanya seluas 79,64 hektar atau 3,92 persen dari luas wilayah kota. Penggunaan lahan lainnya adalah lapangan terbang seluas 15 hektar, empang, kawasan hutan lindung dan sebagainya. Seperti umumnya kota-kota yang terletak di pesisir pantai, maka pola penggunaan lahan di Kota Daruba cenderung linier mengikuti pola garis pantai. Pada bagian pesisir terutama didominasi oleh bangunan fisik. Sedangkan kegiatan pertanian cenderung ke arah perbukitan di sebelah timur dan utara kota.

Jumlah penduduk Pulau Morotai secara keseluruhan sebanyak 58.720 jiwa yang tersebar pada 47 desa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar sebagai petani dan nelayan (lebih dari 60 persen), sedangkan mata pencaharian lainnya adalah pedagang, Pegawai Negeri Sipil dan TNI/Polri.

Jenis produksi tanaman pangan di Pulau Morotai antara lain padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, buah-buahan dan sayuran. Untuk menuju ke Pulau Morotai hanya dapat ditempuh dengan sarana transportasi laut ke Kota Daruba. Perjalanan ke Morotai ditempuh dengan menggunakan kendaraan speedboat dari Ternate ke Sidangoli dengan waktu tempuh 1 jam. Selanjutnya dengan kendaraan darat sampai ke Tobelo dengan waktu tempuh 3 jam dan dari Tobelo dengan speedboat ke Morotai dengan waktu tempuh 1,5 jam.

Prasarana dan sarana transportasi darat menuju ke desa-desa maupun antarkecamatan sudah ada dan dalam kondisi baik. Terminal penumpang umum terdapat di Kota Daruba dengan sejumlah armada angkutan darat yang melayani penumpang. Namun demikian, akibat terjadinya konflik sosial pada tahun 2000 yang lalu, aktivitas terminal dan armada angkutan darat untuk sementara sampai saat ini tidak berjalan. Sebagian jalan dan jembatan juga rusak akibat kerusuhan.

Prasarana transportasi laut dengan kategori pelabuhan yang tidak diusahakan terdapat di Kota Daruba, ibukota Kecamatan Morotai Selatan. Volume bongkar muat barang pelayaran dalam negeri untuk perdagangan antarpulau di Pelabuhan Daruba tahun 2002 yang dibongkar 6.525 ton dan yang dimuat 33.718 ton.

Meskipun Pulau Morotai memiliki lapangan terbang bekas peninggalan Perang Dunia II yang memiliki 7 jalur landasan pacu dengan panjang masing-masing 3 km, namun jalur transportasi udara khususnya angkutan penumpang umum sampai saat ini belum dapat beroperasi secara rutin. Ini disebabkan belum adanya penerbangan umum yang secara permanen melayani jalur penerbangan ke dan dari Pulau Morotai. Lapangan terbang yang ada saat ini dikelola sebagai pangkalan udara oleh TNI AU dan beberapa kali didarati pesawat terbang umum dari dan ke Ternate yang lebih banyak digunakan untuk sarana angkutan perniagaan. Semoga di masa mendatang, Pulau Morotai kian menjadi dambaan bagi seluruh wisatawan untuk berlibur di sana. (*)



Sumber teks & foto:
www.halmaherautara.com dalam :
http://www.explore-indo.com/industri-pariwisata/285-lets-go-berpetualang-menuju-pulau-morotai.html
24 Juni 2009

Ternate Wisata Benteng Kota Tua

Kendaraan bermotor mulai ramai melintas jalan-jalan Kota Ternate seiring munculnya matahari yang seolah keluar dari dasar lautan. Fenomena ini bisa kita saksikan dari hotel termewah yang ada di kota itu. Letaknya didataran tinggi menghadap ke laut berhias Gunung Maitara dan Pulau Tidore, membuat decak kagum kepada siapapun yang datang dan menginap.


Begitu banyak potensi yang terkandung pada provinsi yang baru terbentuk tahun 1999, dan Ternate menjadi Ibukotanya. Kota Ternate merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Namanya tercatat dalam Kitab Negarakertagama yang di tulis Mpu Tantular. Sampai saat ini Ternate masih menyimpan cerita sejarah dan budaya yang menjadi bukti kejayaan masa lalu.

Bukti-bukti kejayaan itu kini menjadi objek wisata sejarah yang mengundang rasa penasaran. Diantaranya ada Kedaton Sultan Ternate, dibangun oleh Sultan Muhammad Ali pada 24 Nopember 1810, lokasinya di atas bukit Limau Santosa dan di dalamnya menyimpan benda-benda yang bernilai sejarah cukup tinggi. Dan Masjid Sultan Ternate, di bangun oleh Sultan Hamzah pada tahun 1633 dengan kombinasi arsitektur Cina dan Jawa kuno.

Sejak dahulu kala Ternate dikenal karena potensi dan posisi geografis yang sangat strategis. Berawal ketika Antonio d’Abreau dan Faransisco Serrao, Kapten kapal dan rombongan Ferdinand Magelland, menyinggahi Bandar Ternate. Sejak itulah tersiar berita keelokan Ternate yang kaya rempah diantara bangsa-bangsa Eropa.

Bahkan sebelumnya pernah menjadi unggulan dalam kanca globalisasi tradisional di jaman keemasan Jalur Sutra di Cina, dengan membangun hubungan perdagangan internasional karena hasil buminya yang sangat terkenal yaitu Pala dan Cengkih (Cengkih Afo adalah bukti Cengkih Tertua di dunia terdapat di Ternate).

Karena potensinya ini Ternate menjadi tujuan utama bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai, sehingga banyak peninggalan bangsa Eropa di Ternate yang kini menjadi destinasi yang wajib dikunjungi.

Misalnya Benteng Kalamata (Benteng Santa Lucia) yang dibangun bangsa Portugis tahun 1540 dan dianeksasi Belanda tahun 1609. Benteng ini langsung menghadap ke laut, berada di tepi pantai sehingga kerap di manfaatkan warga setempat untuk santai menikmati keindahan laut biru.

Benteng ini juga memiliki nama lain Kayu Merah, terakhir kali dipugar oleh pemerintah tahun 1994. Sebagai objek wisata, Benteng ini telah dilengkapi dengan fasilitas penunjang. Naiklah ke atas Benteng untuk dapat menikmati pemandangan indah di seberang lautan, kita dapat saksikan keindahan pulau Tidore dan Maitara dari atas Benteng ini.

Ada juga Benteng Tolukko (Toloco) peninggalan Portugis, dibangun pada tahun 1512 oleh Gubernur Jendral Francisco Seereo dan direstorasi pada tahun 1610 oleh Jan Peter Booth. Tujuan didirikannya benteng ini untuk mengawasi kediaman para pemimpin yang berada di sekitar benteng, dan tentunya sebagai pertahanan terhadap serangan musuh.

Benteng yang mempunyai nama lain Holandia ini memiliki tempat pertahanan, tempat istirahat, tempat meriam, dan ruang bawah tanah. Konon dahulu terdapat terowongan bawah tanah, tai sekarang sudah ditutup.

Banyak benteng lainnya yang tersebar di Kota Ternate, maka kota ini pun pernah mendapat julukan sebagai kota benteng. Selain di kota Ternate sendiri, penyebaran benteng yang dibangun para penjajah dahulu juga merambah ke pulau-pulau lainnya. Hampir setiap pulau di Maluku Utara mempunyai sedikitnya satu benteng peninggalan masa lalu.

Benteng Lainnya yang wajib kunjung :
• Benteng Kastela (Kota Ternate)
• Banteng Santo Predo (Ternate)
• Benteng Tahuela (Kota Tidore Kepulauan)
• Benteng Tjobee (Kota Tidore Kepulauan)
• Benteng Peninggalan PD II (Kabupaten Halmahera Timur)
• Benteng Portugis (Kabupaten Halmaera Timur)
• Benteng Bernaveld (Kabupaten Halmahera Selatan)
• Benteng Mauritz (Kabupaten halmahera Selatan)
• Benteng Dervarwaching (Kabupaten Kepulauan Sula)


Sumber :
http://erawisata.com/destinasi/sejarah/ternate-wisata-benteng-kota-tua.html
30 Desember 2009

Banyak “Harta Karun” di Ternate

Jangan pernah berharap menemukan gedung-gedung atau bangunan mewah di Kota Ternate, Maluku Utara. Sesuai dengan falsafah Sultan Ternate Mudaffar Sjah, yakni rakyat Ternate tidak perlu kaya asalkan bisa hidup berkecukupan. Walhasil, sejak dulu hingga sekarang tidak banyak perubahan yang terjadi di Kota Ternate.


Kota seluas 547,736 kilometer persegi ini memang tidak menyuguhkan suasana glamor pada malam hari. Meskipun termasuk kota tujuan wisatawan asing dan lokal, Ternate tetap mempertahankan kesederhanaan dan ciri khas budayanya. Satu-satunya kemeriahan yang bisa dinikmati hadir pada perayaan ulang tahun Sultan Ternate. Pada perayaan istimewa itu, Sultan menggelar Legu Gam (pesta rakyat) selama berhari-hari di lapangan Keraton Kesultanan Ternate.

Lokasi pesta perayaan ulang tahun, memang sengaja dipilih dekat dengan kediaman Sultan Ternate. Harapannya, Sultan Mudaffar Sjah dan Permaisuri Boki Nita Budhi Susanti bisa melihat kemeriahan pesta dari balkon keraton. Pada malam hari, Legu Gam di lapangan Keraton Kesultanan, tidak ada bedanya dengan pemandangan pasar malam yang ada di Jakarta.

Untungnya, kunjungan SP bersama dengan rombongan Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Surya Yoga ke Ternate pada 18 April 2009 lalu, bertepatan dengan perayaan Legu Gam. Selama lima hari di Ternate, lapangan Keraton Kesultanan tidak pernah sepi. Masyarakat kerap datang untuk menikmati hiburan yang ada di perayaan Legu Gam.

Selain perayaan tahunan Legu Gam, Ternate juga menyimpan banyak “harta karun”. Keindahan alam serta bangunan-bangunan bersejarah adalah harta karun kota Ternate. Satu di antaranya, yakni Keraton Kesultanan Ternate. Bangunan bergaya Eropa abad ke-19 ini didirikan oleh Sultan Mohammad Ali, pada tahun 1823. Kini, Keraton Kesultanan berubah dwifungsi. Tidak hanya sebagai tempat kediaman Sultan Ternate, keraton juga menjadi museum untuk menyimpan benda-benda bersejarah.

Keraton Kesultanan Ternate berdiri di atas tanah seluas 44.560 meter persegi. Bangunan bersejarah ini berjarak 250 meter dari garis Pantai Resen atau tepatnya berada di dataran pantai Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Kabupaten Maluku Utara.

Keraton Kesultanan, kini menjadi bangunan bersejarah yang dilindungi pemerintah. Usaha pelestarian pemerintah dilakukan lewat pemugaran keraton pada tahun 1981-1982. Tepatnya pada 29 April 1982, Keraton Kesultanan Ternate selesai direnovasi, dan diresmikan oleh Mendikbud Dr Daud Jusuf.

Mahkota Berambut

Dalam bangunan megah berwarna kuning ini tersimpan benda-benda bersejarah. Satu di antaranya adalah Mahkota Berambut Kesultanan Ternate. Dipercaya, rambut yang melekat pada bagian atas mahkota tumbuh setiap tahun. Berdasarkan kepercayaan adat Kesultanan Ternate, setiap malam Idul Adha dilakukan upacara potong rambut. Upacara adat dilaksanakan selama tujuh hari.

Mahkota Berambut Kesultanan Ternate disimpan di kamar Puji yang disakralkan oleh penghuni keraton. Tidak sembarang orang bisa masuk ke kamar tersebut. Bahkan, Sultan dan sang Permaisuri hanya sesekali salat di kamar tersebut. Biasanya, saat Sultan dan Permaisuri memiliki permohonan khusus baru bisa melaksanakan salat di kamar Puji.

Selain bernilai sakral, Mahkota Berambut juga biasa digunakan untuk memilih calon Sultan Ternate. Berdasarkan cerita para tetua Ternate, setiap anak lelaki keturunan Sultan Ternate harus mencoba Mahkota Berambut. Mahkota tersebut bisa melekat pas di atas kepala calon Sultan Ternate.

Tidak hanya Mahkota Berambut, di keraton juga tersimpan senjata, baju perang, dan simbol-simbol penjaga kesultanan. Pada kunjungan SP ke keraton, Permaisuri Nita menjelaskan, ada lima binatang penjaga kesultanan. Empat binatang tersebut yakni ular, naga, macan, lipan, dan burung.

Satu dari lima binatang penjaga tersebut dipilih sebagai simbol kesultanan, yakni burung garuda. Lambang burung garuda berkepala dua berarti kerajaan Moloku Kie Raha terbentuk pada 1322. Sementara simbol burung hati terbalik mengandung makna, Sultan Ternate harus selalu mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya.

Pantai Sulamadaha

Seusai berkunjung ke tempat bersejarah Kesultanan Ternate, pemandangan alam menjadi pilihan yang tepat untuk menghabiskan liburan. Kota Ternate, yang terletak di kaki Gunung Api Gamalama menyimpan banyak keindahan. Hanya dibutuhkan waktu setengah hari untuk mengelilingi Kota Ternate. Dalam waktu singkat tersebut beberapa tempat wisata bisa dikunjungi.

Pantai Sulamadaha menjadi objek wisata yang diincar warga pada hari libur. Dari pusat Kota Ternate ke pantai memakan waktu satu jam perjalanan. Pantai Sulamadaha juga masih menyajikan pemandangan dan suasana alam yang asli. Bahkan, makanan yang dijajakan di pantai sangat tradisional. Penjual membangun tenda-tenda kecil di pinggir pantai untuk menjual kelapa muda dan makanan kecil.

Pantai Sulamadaha tidak seperti pantai-pantai terkenal di Bali. Meskipun tidak berpasir putih, Pantai Sulamadaha memiliki pesona tersendiri. Pantai berpasir hitam ini berhadapan langsung dengan Pulau Hiri.

Ombak di Pantai Sulamadaha tidak terlalu besar. Jadi, bisa dibilang aman untuk mengajak anak-anak berenang di pantai. Selain ombaknya bersahabat, pantai ini juga lumayan bersih. Tidak seperti pantai di Jakarta kurang terawat. Pada bagian kanan dan kiri pantai, terdapat tebing karang kecil yang ditumbuhi semak belukar dan pepohonan besar.

Pengunjung tidak hanya bisa berenang di pantai, tetapi juga dapat menikmati pemandangan bukit hijau Pulau Hiri. Bila tidak puas hanya memandang, pengunjung bisa menyeberang ke Pulau Hiri dengan menyewa perahu nelayan. Harga sewanya, bisa negosiasi dengan nelayan setempat.

Berdasarkan cerita rakyat, Pulau Hiri dulunya dipakai sebagai tempat pengasingan Sultan Muhammad Djabir Syah. Pulau tersebut dulunya tidak terdeteksi oleh para tentara Belanda. Jadi, Sultan Muhammad Djabir yang merupakan ayah dari Sultan Ternate Mudaffar Sjah selamat dari kejaran Belanda.

Danau Tolire

Bergeser sedikit dari Pantai Sulamadaha, tempat wisata yang juga menjadi pilihan di hari libur, yakni Danau Tolire. Danau Tolire yang berada di bawah kaki Gunung Gamalama ini menyimpan sebuah kisah sedih. Menurut legenda, Danau Tolire terbagi menjadi dua bagian, yakni Tolire besar dan Tolire kecil. Pecahnya danau tersebut dikarenakan kekhilafan seorang ayah kepada anak gadisnya. Sang ayah memerkosa anak gadisnya.

Setelah tragedi memilukan tersebut, terjadi longsor dan danau meluap. Akibatnya, desa Takome tenggelam. Anehnya, setelah surut danau seolah terbagi menjadi dua bagian. Danau Tolire besar diperkirakan sebagai wujud dari sang ayah. Sementara itu, Danau Tolire kecil adalah wujud sang anak.

Jarak dari Danau Tolire besar dan Danau Tolire kecil hanya 200 meter. Danau Tolire kecil berada dekat tepi pantai. Airnya payau, karena jaraknya dekat dengan laut, yakni sekitar 50 meter. Bila mengunjungi Danau Tolire besar, otomatis harus melewati Danau Tolire kecil.

Sayangnya, keindahan Danau Tolire besar lebih menggiurkan ketimbang Danau Tolire kecil. Kebanyakan wisatawan dan warga memilih Danau Tolire besar sebagai tempat wisata. Danau Tolire besar menyerupai loyang raksasa, dengan luas sekitar lima hektar dan kedalaman 50 meter. Keunikan lainnya adalah air Danau Tolire besar berwana hijau saat musim panas dan coklat pada waktu hujan.

Untuk bisa menikmati pemandangan di sekitar Danau Tolire besar, pengunjung bisa masuk tanpa bayaran. Hanya saja, jarak dari jalan besar ke Danau Tolire lumayan jauh. Untung, ada jasa tukang ojek di depan pintu masuk Danau Tolire. Cukup membayar Rp 10.000, tukang ojek akan mengantar pulang pergi dari danau ke pintu masuk.

Selain menyimpan cerita memilukan, Danau Tolire besar juga memiliki kekuatan gaib. Masyarakat setempat percaya terdapat buaya siluman yang melindungi danau. Terlebih lagi, pada zaman dulu Danau Tolire besar merupakan tempat penyimpanan harta Sultan Ternate. Harta disembunyikan di dasar Danau Tolire besar, sehingga aman dari incaran Portugis pada abad ke-15.

Kekuatan gaib Danau Tolire besar bisa dibuktikan dengan cara melempar batu ke danau. Dipastikan, batu tidak akan pernah menyentuh permukaan air danau. Batu yang dilempar seperti hilang sebelum sampai ke permukaan danau. Pengunjung bisa membeli batu yang sengaja disediakan oleh warga. Satu batu harganya Rp 1.000.

Seusai menikmati keindahan danau dan mencoba lempar batu, pengunjung bisa beristirahat sejenak di bawah pepohonan besar. Istirahat di bawah pohon rindang akan bertambah nikmat bila ditemani jagung rebus manis dan teh hangat. Makanan dan minuman bisa dibeli di warung-warung kecil yang ada di sekitar Danau Tolire besar.

Pulau Tidore

Selain Danau Tolire Besar dan Kecil, masih banyak lagi tempat wisata di Maluku Utara yang layak dikunjungi. Bila bersedia meluangkan waktu lebih banyak, bisa mengunjungi Pulau Tidore yang ada di seberang Ternate. Untuk bisa sampai ke Pulau Tidore, dari pelabuhan Ternate bisa menggunakan speedboat kecil. Jarak tempuh dari pelabuhan Ternate ke Tidore hanya sekitar 10 menit saja. Sementara ongkos speedboat per orang sebesar Rp 8.000.

Sampai di pelabuhan Rum Tidore, wisatawan bisa menggunakan angkot biru untuk berkeliling pulau seluas 1.797 km2 ini. Pulau Tidore terbilang sepi dibandingkan Ternate. Pada pukul 18.00 waktu setempat, tidak ada lagi angkot yang beroperasi. Hanya kendaraan pribadi dan motor yang lalu-lalang.

Meskipun tergolong sepi, Pulau Tidore menyuguhkan tempat-tempat wisata yang tidak kalah indah dengan Ternate. Sebut saja wisata sejarah Tugu Pendaratan Sebastiano De Elaco. Tugu yang dibangun oleh pemerintah Spanyol ini menjadi satu-satunya bukti sejarah yang menyatakan bumi itu bulat. Dulu, saat terdampar di Pulau Tidore, Sebastian De Elaco berhasil membuktikan bahwa bumi itu bulat.

Tempat wisata lain di Tidore, yakni kolam air panas Akesahu. Kolam air panas ini berdekatan dengan pantai Akesahu. Dipercaya, dengan berendam di dalam kolam air panas berbagai penyakit bisa sembuh. Untuk bisa masuk ke kolam air panas Akesahu, pengunjung hanya perlu mengeluarkan uang masuk Rp 1.000 per orang.

Setelah berendam di kolam air panas, biasanya pengunjung diminta mengikatkan seutas tali di ranting pohon beringin besar. Tujuannya, agar penyakit tidak lagi ikut di badan. Penyakit akan tinggal di dalam tali yang terikat di pohon beringin besar.

Tidak hanya kolam air panas Akesahu, Pulau Tidore juga memiliki wisata taman laut Maetara, museum Kesultanan Tidore Sonyine Malige, Pantai Cobo, dan benteng Tahua. Pulau Tidore, untungnya tidak terlalu luas. Cukup dengan meluangkan waktu satu setengah jam, sudah bisa mengelilingi pulau menggunakan mobil. Kondisi jalan di Pulau Tidore pun sangat mulus. Berbeda jauh dengan kondisi jalan di Jakarta yang banyak lubang.

Oleh-oleh

Tidak hanya berburu tempat wisata, wisatawan pun harus menyempatkan waktu berbelanja oleh-oleh khas Maluku Utara di Pasar Gamalama, di jalan Bousorie. Perhiasan dari besi putih bisa menjadi pilihan oleh-oleh yang unik untuk dibawa pulang.

Perhiasan tersebut bervariasi bentuknya. Harganya juga cukup sebanding dengan kualitas besi putih yang anti karat. Asalkan pintar menawar, sebuah cincin besi putih bisa dibeli dengan harga Rp 20.000 sampai Rp 30.000.

Selain perhiasan, oleh-oleh khas lainnya, yakni kue kering kenari dan kacang kenari. Khusus untuk makanan di Ternate memang tergolong mahal.

Alasannya, bahan baku makanan masih diambil langsung dari Manado. Untuk itu, sebelum memesan makanan, ada baiknya bertanya berapa harga seporsi kepada penjual. [Elvira Anna Siahaan]

Sumber:
http://epaper.suarapembaruan.com/default.aspx?iid=24908&startpage=page0000017, dalam :
http://www.potlot-adventure.com/2009/05/03/banyak-harta-karun-di-ternate/

Kerajaan Tidore

1. Sejarah

Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan gunung Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab dialek Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’ dan bahasa Arab dialek Irak anta thadore yang berarti ‘kamu datang’. Penggabungan dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi di Tidore.


Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering terjadi pertikaian antar para Momole (kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.

Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang. Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa orang momole yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang, akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.

Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian mempersunting seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan tersebut, lahir empat orang putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore; Darajati, pendiri kesultanan Moti; Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur Malamo, pendiri kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi, yang menurunkan raja-raja Banggai; Boki Sadarnawi, yang menurunkan raja-raja Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan Mardike. Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie Raha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan Moti.

Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak bahwa empat kerajaan ini berasal dari moyang yang sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari benar atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul tersebut secara jelas menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate, Tidore, Makian dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul.

Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.

Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.

Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini.

Pada abad ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku –termasuk Tidore– untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.

Sepeninggal Portugis, datang Belanda ke Tidore dengan tujuan yang sama: memonopoli dan menguasai Tidore demi keuntungan Belanda sendiri. Dalam sejarah perjuangan di Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805 M). Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai dengan Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis. Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono.

Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.

2. Silsilah

Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah berkuasa 38 orang sultan di Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah. (nama dan silsilah para sultan lainnya, dari awal hingga yang ke-37 masih dalam proses pengumpulan data).

3. Periode Pemerintahan

Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108 M dan berdiri sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M. setelah itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

4. Wilayah Kekuasaan

Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan Pasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu, Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang masih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.

5. Struktur Pemerintahan

Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan.

Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah: (1) pehak labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2) pehak adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau (panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) Pehak Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa; (4) pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang kerohanian), Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina), Fomanyira Ngare (public relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran). Selain struktur di atas, masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan propaganda.

6. Kehidupan Sosial Budaya

Masyarakat di Kesultanan Tidore merupakan penganut agama Islam yang taat, dan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini

Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat Tidore, perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah pernikahan, setiap pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut dengan utrolokal.

Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, upacara Lufu Kie daera se Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.

Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo (semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara satra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat secara individual.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para kolonial kulit putih.

Sumber:
http://melayuonline.com/ind/history/dig/336/kesultanan-tidore, dalam :
http://www.awangfaisal.com/kerajaan-tidore

Provinsi Maluku Utara

Alamat: Bappeda Provinsi Maluku Utara Jl. Pahlawan Revolusi No 1 Ternate
Telepon: 0921 - 21044
Fax: 0921 – 326155
Email: webmaster
Website: www.malukuutaraprov.go.id

Provinsi Maluku Utara memiliki perbatasan dengan Laut Halmahera di sebelah timur, Laut Maluku di sebelah barat, Laut Pasifik di sebelah utara dan Laut Seram di sebelah selatan. Ibukota provinsi terletak di Kota Ternate.


Jumlah penduduk sebesar 960 ribu jiwa (Oktober 2008) dengan tingkat kepadatan penduduk 24 kilometer persegi (2008). Jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2008 sebesar 422 ribu jiwa, penduduk yang bekerja sebanyak 394 ribu jiwa dan pengangguran sebanyak 27 ribu jiwa. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 6,48 persen.

Jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 sebanyak 110 ribu jiwa (11,97 persen) dimana 89,35 persen berada di pedesaan. Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2009 sebesar Rp 770.000. Jumlah penerima BLT (2005) menurut kategori sangat miskin sebanyak 27 ribu jiwa, miskin sebanyak 23 ribu jiwa, dan mendekati miskin sebanyak 17 ribu jiwa. Indeks Pembangunan Manusia provinsi ini di tahun 2006 adalah sebesar 67, 5, sementara angka indeks untuk Indonesia sebesar 70,1 pada tahun yang sama.


SUMBER DAYA ALAM

Pertanian, Perkebunan dan Perikanan
Luas lahan sawah di Provinsi Maluku Utara adalah 50 ribu ha yang terdiri dari lahan irigasi teknis dan lahan non irigasi teknis dan luas areal panen adalah 17 ribu ha dengan produksi padi sebesar 58 ribu ton/tahun. Produksi palawija yang dihasilkan sebesar 158 ribu ton/tahun dengan menggunakan lahan 22 ribu ha yang digunakan untuk tanaman jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Luas lahan perkebunan adalah 546 ribu ha yang ditanami cengkeh, kelapa, pala, kakao, kopi, jambu mete, lada, vanili dan cassivera. Perkebunan kakao menghasilkan 17 ribu ton. Sektor perikanan tangkap memiliki produksi mencapai 524 ribu ton/tahun dengan potensi lestari sebanyak 478.382 ton. Perikanan secara umum sebesar 1,04 juta ton yang terdiri dari ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, cumi-cumi, udang peneid, rumput laut, ikan kerapu, ikan nila, ikan mas, dan udang windu.

Kehutanan
Luas kawasan hutan adalah 2,86 juta ha yang terbagi atas hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan konversi dan hutan PPA, dengan produksi kayu mencapai 101 ribu km2.

Pertambangan
Potensi pertambangan antara lain pertambangan nikel dengan cadangan 42,76 juta ton; emas dengan cadangan 192 juta ton; tembaga dengan cadangan 240 juta ton dan pasir besi dengan perkiraan cadangan 69 ribu ton. Pemanfaatan tambang emas dilakukan oleh PT Nusa Halmahera Mineral di Kao dan Malifut (Pulau Halmahera) serta biji nikel oleh PT Aneka Tambang di Pulau Gebe dan Pulau Pakal (Pulau Halmahera).

KONDISI EKONOMI TRIWULAN III-2009


Pertumbuhan ekonomi mengalami percepatan jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhan pada triwulan II-2009 sebesar 4,97% sedangkan pada triwulan laporan tumbuh 5,35%. Kinerja ekonomi yang terjadi pada triwulan laporan masih melanjutkan trend positif setelah kontraksi ekonomi yang terjadi pada triwulan IV- 2008.

Pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh konsumsi masyarakat dan pengeluaran pemerintah. Konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 8,86% sedangkan pengeluaran pemerintah kontribusinya sebesar 5,54%. Pertumbuhan tahunan tertinggi adalah pengeluaran pemerintah yang tumbuh sebesar 22,74% (yoy) sedangkan secara tahunan ekspor mengalami penurunan sebesar minus 19,54% (yoy).

Tingkat investasi meningkat sebesar 11,50% (yoy) berbeda dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 33,51% (yoy). Investasi masih didominasi oleh pembangunan infratruktur oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan investasi swasta memiliki sasaran investasi utama di bidang perikanan dan pertambangan.

Sementara itu, sektor pertambangan & penggalian serta sektor listrik, gas & air bersih mengalami kontraksi, sedangkan sektor lainnya ekspansif. Sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran (2,18%), sedangkan sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah sektor jasa-jasa (11,19%).

Tingkat inflasi di Kota Ternate mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya namun masih mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tingkat harga pada Triwulan II-2009. Secara triwulanan inflasi sebesar 0,27%, sedangkan secara tahunan sebesar 1,36% lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi tahunan yang terjadi pada
triwulan III-2009 yang mencapai 4,34%.

Realisasi pendapatan hingga bulan maret 2009 adalah Rp 313,71 miliar rupiah dimana target anggaran yang ditetapkan adalah 721,4 miliar rupiah. Bila ditinjau lebih rinci, pendapatan yang berasal dari dana perimbangan memiliki posri terbesar, dengan tingkat realisasi mencapai 46,17%.

Dari sisi belanja daerah pada akhir Bulan Juni 2009 sudah terealisasi sebesar 37,37%. Share belanja langsung Pemda (termasuk belanja modal) lebih besar bila dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Akan tetapi realisasi belanja tidak langsung justru lebih tinggi dari realisasi belanja langsung.


Sumber :
Asriani, Kholidah
http://nasional.vivanews.com/news/read/7397-provinsi_maluku_utara
5 November 2008

Ibu Kota Maluku Utara Sofifi

Aktivitas Pemerintahan Provinsi Maluku Utara, mulai Senin (11/1) pindah ke Kota Sofifi. Sebelumnya aktivitas berada di Kota Ternate. Pemindahan aktivitas ditandai konvoi ratusan speed boat yang membawa ribuan pegawai negeri dipimpin Gubernur Maluku Utara Thaib Armayin, menuju Sofifi, di wilayah administrasi Kota Tidore Kepulauan.


Sejak terpisah dari Provinsi Maluku 1999 lalu. Kabupaten Maluku Utara berubah menjadi Provinsi Maluku Utara dengan Ibu kota Sofifi. Namun keterbatasan infrastruktur membuat aktivitas pemerintahan dilaksanakan di Ternate.

Meski minim infrastruktur, Gubernur Thaib Armayin menyatakan pemindahan harus dilakukan sesuai amanat undang-undang. Sanksi tegas menunggu para PNS yang tidak mau berkantor di Sofifi.(RIZ)


Sumber :
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/01/12/97636/Ibu-Kota-Maluku-Utara-Sofifi
12 Januari 2010

Pariwisata Maluku Utara

Potensi pariwisata di Provinsi Maluku Utara berupa wisata budaya dan purbakala, sejarah, ada istiadat yang dikenal dengan Kesultanan Moloku Kie Raha. Peninggalan-peninggalan sejarah masa silam antara lain Kadaton Sultan Ternate dan Kadaton Sultan Tidore.


Potensi wisata bahari berupa pulau-pulau dan pantai yang indah dengan taman laut serta jenis ikan hias, merupakan potensi utama dalam rangka mengembangkan wisata bahari.

Wisata alam seperti batu lubang yang tersebar hampir diseluruh wilayah, hutan wisata yang dapat diperuntukan bagi kepentingan taman nasional yang memiliki spesies endemik ranking ke 10 di dunia.

Dengan potensi seperti itu, maka pengembangan diarahkan pada lokasi-lokasi yang memiliki interaksi kegiatan wisata.

Kawasan suaka alam yang terdiri dari beberapa jenis, baik di daratan maupun wilayah perairan laut yang tersebar pada berbagai lokasi seperti : Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan, Cagar Alam di Pulau Obi, Cagar Alam Taliabu di Pulau Taliabu dan Cagar Alam di Pulau Seho.

Kawasan Cagar Alam Budaya yang memiliki nilai sejarah kepurbakalaan tersebar di wilayah Provinsi Maluku Utara yang meliputi cagar alam budaya di Kota Ternate, Kota Tidore, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan, dan Halmaerah Utara.

Sumber :
Buku "7 Tahun Maluku Utara Membangun", dalam :
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3032&Itemid=1600